Hukum Adat

            POKOK-POKOK HUKUM ADAT

MENGENAL HUKUM ADAT INDONESIA
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang merupakan pedoman  bagi sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan  dalam pegaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun di desa.
Hukum Adat senantiasa  tumbuh  dari  suatu  kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.
Hukum adat adalah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu dengan mempelajari hukum adat berarti kita telah mempelajari sebagian dari kebudayaan bangsa kita.
Orang mencampur-adukkan antara pengertian adat yang mengandung sanksi yaitu hukum adat dengan pengertian adat yang tidak mengandung sanksi yaitu kebiasaan saja.

Peristilahan Tentang Hukum Adat
Istilah  hukum adat  merupakan terjemahan dari bahasa Belanda "Adatrecht".
Orang yang pertama kali memakai istilah adatrecht adalah Snouck Hurgronje dalam bukunya "De Atjehers" dan Het Gayoland“ yang ditulisnya tatkala ia mengamati perang Aceh.
Pemakaian istilah adatrecht  dilanjutkan oleh Cornelis van Vallenhoven sebagai istilah teknis-juridis.
Istilah "adatrecht" baru muncul dalam perundang undangan pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Sebelumnya, hukum adat itu dinyatakan dalam berbagai istilah, seperti : "godsdientige wetten" (undang- undang agama) lembaga rakyat, "kebiasaan", lembaga asli .

Unsur Hukum Adat
Pemakaian istilah godsdienstige wetten atau undang-undang agama untuk menyatakan hukum adat mencapai puncaknya pada bagian kedua abad ke 19. Kekeliruan dalam pengertian hukum adat dalam praktek maupun dalam perundang-undangan pada zaman itu dipengaruhi oleh van den Berg  dengan teorinya "Receptio in Complexiu"
Menurut teori ini, hukum (adat) suatu golongan atau masyarakat adalah hasil penerimaan bulat-bulat atau resepsi seluruhnya dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Jadi hukum (adat) mereka yang beragama Islam adalah hukum Islam, yang beragama Hindu adalah hukum Hindu, yang beragama Katolik adalah hukum Katolik dan seterusnya.
Kalau diperhatikan dengan seksama teori van den Berg ini, ada hal yang tersirat dalam teori tersebut, yaitu masyarakat Indonesia tidak mempunyai hukum adat yang asli, karena semuanya merupakan resepsi dari agama yang dianutnya. Sedangkan semua agama itu tidak ada yang berasal dari Indonesia. Pendapat Van den Berg ini disokong oleh Keyzer. Tapi mendapat tantangan dari Snouck Hurgronje dan Van Vollen hoven.
Menurut Snouck Hurgronge, tidak semua bagian hukum agama diterima, diresepsi dalam hukum adat.Hanya beberapa bagian tertentu saja dari hukum adat dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut masyarakat yang bersangkutan, terutama bagian dari hidup manusia yang sifatnya mesra, yang hubungannya erat dengan kepercayaan dan hidup batin. Bagian-bagian itu adalah : hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris.
Unsur yang asli itu pada umumnya tidak tertulis. Hanya sebagian kecil saja yang tertulis (seperti awig-awig di Bali,piagam-piagam perintah raja, patokan-patokan pada daun lontar), tidak berpengaruh, dan sering dapat diabaikan saja. Unsur yang tidak asli yaitu yang datang dari luar sebagai akibat persentuhan dengan kebudayaan lain dan pengaruh hukum agama yang dianut.

Definisi Hukum Adat
Van Vollen hoven, memberikan definisi tentang Hukum Adat ialah : "keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu adalah hukum) dan dipihak lain tidak dikodifikasikan, artinya tidak tertulis dalam bentuk kitab Undang-undang yang tertentu susunannya".
Menurut Prof.DR.Soepomo, istilah "Hukum Adat"  dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif (Unstatutory Law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan Negara (parlemen, Dewan perwakilan rakyat dan  sebagainya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (Judgemade Law), hukum yang hidup sebagai  peraturan  kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup
Perintis penemu hukum adat
Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda, dapat dimasukan kedalam kelompok perintis penemu hukum adat. Ia adalah penemu desa di Jawa sebagai suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) yang asli dengan organisasi sendiri dan hak-hak sendiri atas tanah.
Muntinghe adalah orang Barat yang pertama yang secara sistimatis memakai istilah "adat", tetapi masih belum mengenal istilah "adatrecht". Istilah adatrecht untuk pertama kali dipakai oleh Souck Hurgronje.
Raffles yang pernah menjadi Letnan-Gubernur Inggeris di pulau Jawa dari tahun 1811 - 1816. Hasil karya Raffles yang dipublikasikan dikenal sebagai "History of Jawa". Penyelidikan dan pelajaran hukum adat Indonesia yang diadakan Raffles dimuat dalam suatu skema pajak-tanah yang dapat dibaca dalam "Substance of a Minute". Raffles masih mencampur aduk pengertian hukum agama dengan hukum asli (hukum adat). Ia seperti Marsden, juga melihat Indonesia sebagai suatu keseluruhan yang bulat yang tidak terpisah-pisahkan.

Penemu Hukum Adat.
Wilken seorang anak Indo dari Menado, tapi dibesarkan di Nederland. Pada umur 22 tahun datang ke Indonesia sebagai pamongpraja  di berbagai daerah di Indonesia yang kemudian menjadi ilmuwan. Ia sudah memberikan tempat tersendiri tentang hukum adat, tidak mencampur adukan hukum agama dengan hukum asli. Ia belum memakai istilah adatrecht, baginya hukum adat itu adalah hukum rakyat asli.
             
F.A. Liefrinck, seorang pamongraja, orang Belanda, yang bertugas di Lombok dan Bali. Ia juga telah memberikan tempat tersendiri  terhadap hukum adat seperti    Wilken. Hasil karyanya terbatas hanya pada lingkungan adat tertentu, yaitu Bali dan Lombok.
Penemu hukum adat yang ketiga disebut Van Vollenhoven ialah Snouck Hurgronje. Ia adalah seorang    sarjana bahasa yang menjadi negarawan. Ia adalah orang yang pertama kali memakai istilah adatrecht. Hasil karyanya yang terkenal tentang daerah-daerah di  Indonesia    adalah "De Acehers" yang diterbitkan pada tahun 1893 dan 1894, dan "Het Gayoland" yang diterbitkan tahun 1903. Kedua-duanya  mengenai hukum adat yang terpusat pada suatu lingkungan hukum belaka dan tidak mengadakan suatu perbandingan dengan daerah-daerah lain di Nusantara.
TENTANG Van Vollenhoven
Dalam karya Van Vollenhoven berhubung dengan pelajaran hukum adat, ada tiga hal yang penting, yaitu Van Vollenhoven:
menghilangkan kesalah-fahaman yang melihat  hukum adat identik dengan hukum agama (Islam) ; membela hukum adat terhadap usaha pembentuk Undang undang untuk mendesak atau menghilangkan hukum adat, dengan meyakinkan ;embentuk Undang-undang itu bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup yang mempunyai suatu jiwa dan sistem sendiri. Dan Membagi  wilayah  hukum adat Indonesia  dalam  19 lingkungan hukum adat (adatrechts-krungen).
           
Sejarah Politik Hukum Adat.
Dengan ditemukannya hukum adat lahirlah ilmu hukum adat dan politik hukum adat. Politik hukum adat itu adalah kebijaksanaan, pendirian dan sikap terhadap hukum adat dari zaman dulu sampai sekarang.
Ringkasnya politik hukum adat yang dilakukan sampai tahun 1928 oleh Pemerintah Belanda, adalah ditujukan untuk perlindungan kepentingan orang Belanda (kepentingan pemerintahan, perniagaan, pertanian, agama Kristen dan sebagainya).
Dari tahun 1945 sampai sekarang ada 3 pandangan para ahli hukum bangsa Indonesia terhadap hukum adat, yaitu: mempertahankan hukum adat sepenuhnya dan menerima hukum adat yang positif saja serta menolak hukum adat secara keseluruhan.

MANFAAT MEMPELAJARI HUKUM ADAT
Menurut pandangan teoritis, pengetahuan tentang hukum adat yang diperoleh adalah semata-mata untuk menjamin kelangsungan penyelidikan ilmiah  hukum adat dan untuk memajukan secara terus menerus pengajaran hukum adat. Singkatnya menurut pandangan teoritis ini, "ilmu untuk ilmu". Oleh sebab itu hukum adat dipelajari untuk memenuhi dua tugas yaitu penyelidikan dan pengajaran. Penyelidikan   tentang   hukum  adat semakin digiatkan dan pengajaran hukum adat di Universitas ditingkatkan.
Pandangan teoritis ini cenderung menyimpan hukum adat dalam sifat dan corak aslinya, menjauhkan hukum adat dari pengaruh modernisasi. Ini terselubung maksudnya untuk memudahkan penelitian tentang hukum adat. Pandangan teoritis ini sama sekali tidak memanfaatkan ilmu hukum adat yang ditemukan itu untuk kepentingan masyarakatnya.
                         
Sesudah Perang Dunia ke I dan Perang Dunia ke II, pandangan "Ilmu Untuk Ilmu" mulai ditinggalkan atau dijadikan nomor dua.
             
Di Indonesia ilmu hukum adat yang ditemukan itu dipelajari dimanfaatkan untuk pembangunan masyarakat Indonesia dalam usaha mengisi kemerdekaan dan meningkatkan kemakmuran bangsa Indonesia. Maka manfaatnya mempelajari ilmu hukum adat itu haruslah bersifat praktis dan nasional.
Sifat praktis dan nasional itu dapat terlihat dari tiga sudut, yaitu:dari sudut pembinaan hukum nasional; dari sudut mengembalikan dan memupuk kepribadian bangsa Indonesia dan dalam praktek peradilan.
MASYARAKAT HUKUM ADAT
From birth to death man lives out his life as a member of a society (Krech, Crutchfield, Ballachey, 1962 : 308). Atau  dengan kata lain bahwa sejak dari lahir sampai meninggal manusia mengalami kehidupannya sebagai anggota suatu masyarakat.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan umum di seluruh dunia. Sebagaimana yang dikatakan  Cicero lebih kurang 2000 tahun yang lalu, dalam bahasa Latin yaitu : Ubi societas, ibi ius.
Jadi, manusia itu hidup berkelompok- kelompok dan bagaimanapun kecilnya kelompok itu, sudah tentu ada hukum yang mengatur kehidupannya. Masing-masing kelompok tersebut, mempunyai dasar persatuannya, yaitu ada yang berdasarkan genealogis, ada yang berdasarkan teritorial, atau genealogis  teritorial dan teritorial genealogis.
Masyarakat hukum yang berdasarkan genealogis itu terbagi lagi dalam bentuk bilateral (keibu-bapaan atau parental) dan unilateral (sepihak). Unilateral terbagi lagi dalam bentuk kebapaan (patriachat) dan keibuan (matriachat). Bentuk lain ialah masyarakat hukum yang altenerend, dan dubble-unilateral.
Masyarakat hukum yang berdasarkan teritorial juga macam-macam bentuknya, yaitu masyarakat hukum desa, masyarakat hukum  wilayah (persekutuan desa) dan masyarakat hukum serikat desa. Juga dalam bagian ini akan diuraikan tentang hak ulayat dan transaksi tanah menurut hukum adat.

Bentuk-bentuk susunan masyarakat hukum adat
Susunan masyarakat hukum adat itu ada yang berasarkan darah (genealogis) dan ada yang berdasarkan daerah (teritorial). Manusia itu merasa terikat satu sama lain karena merasa keturunan (darah) atau sedaerah. Ini secara teoritis. Namun dalam kenyataannya adalah  darah-daerah (genealogis -teritorial) atau daerah-darah (teritorial-genealogis).
Masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis  ialah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua  merasa berasal satu keturunan (darah) yang sama.
Ada tiga tipe pertalian keturunan dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis, yaitu :
1.    Pertalian  keturunan menurut garis perempuan, ini   terdapat dalam masyarakat hukum adat orang   Minangkabau, Kerinci dan orang Sumendo.
2.    Pertalian keturunan menurut garis laki-laki, ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Batak, Bali, Ambon, Lampung dan  lain-lain.
3.    pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak, ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Jawa Sunda, Madura, Bugis, Dayak , Toraja dll.
Masyarakat hukum adat yang susunannya bersifat teritorial, adalah masyarakat hukum di mana para anggotanya merasa terikat satu sama lain, karena merasa berasal dari daerah yang sama.Ada tiga jenis masyarakat hukum adat yang struktur nya bersifat teritorial, yaitu : masyarakat hukum desa;         masyarakat hukum wilayah (persekutuan desa) dan  masyarakat hukum sertikat desa (perserikatan desa)
Masyarakat hukum desa
Masyarakat hukum desa adalah sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama dan oleh sebab itu merupakan suatu kesatuan, suatu tata susunan tertentu, baik ke luar maupun ke dalam. Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak di luar wilayah desa yang sebenarnya, yang disebut teratak atau dukuh, yang tunduk pada peraturan-peraturan dan pejabat desanya. Contohnya adalah desa-desa di Jawa, Sunda, Madura dan Bali.
Masyarakat hukum wilayah
Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial yang melingkupi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masingnya  tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Masing-masing nya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat  hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Contohnya adalah kurya di Angkola dan Mandailing. Kurya  sebagai masyarakat hukum wilayah menaungi beberapa huta. Marga di Sumatera Selatan sebagai masyarakat hukum wilayah menaungi  beberapa dusun.
Masyarakat hukum serikat desa
Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial, yang dibentuk atas dasar kerja sama dalam berbagai lapangan untuk kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa tersebut. Kerja samaitu terbentuk mungkin

Sistem pembagian waris menurut hukum adat
Sistem pewarisan yang dibagi-bagi : Sistem pewarisan yang dibagi-bagi ini adalah merupakan suatu cara pengoperan harta warisan dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Pada prinsipnya  dalam sistem pewarisan yang dibagi-bagi ini, harta warisan langsung dibagikan pemilikannya secara pribadi kepada para ahli warisnya,setelah dikurangi utang-utang dan biaya penguburan yang meninggal.
Contoh dari sistem pembagian waris yang di bagi-bagi ini  pada masyarakat bilateral seperti Sunda, Jawa, Madura. Dalam masyarakat bila teral, anak-anak adalah ahli waris dari ibu bapaknya.
Sistem pewarisan yang tidak dibagi-bagi :Pada sistem pewarisan yang tidak dibagi-bagi , harta warisan tersebut tidak langsung dibagikan pemilikannya secara pribadi kepada para ahli warisnya.  Pengoperan harta warisan dalam sistem ini ada dua cara pula yaitu kolektif dan  mayorat.
Sistem kolektif ialah harta warisan itu tetap dimiliki secara bersama atau kolektif oleh para ahli warisnya. Yang dibagikan hanyalah hasil dari harta tersebut atau pengerjaannya.Contohnya di Minangkabau yang disebut harta pusaka, di Minahasa disebut harta kalakeran dan di Ambon disebut tanah dati.
Sistem mayorat, yaitu harta warisan  jatuh atau dikuasai oleh anak tertua. Sistem mayorat ini ada mayorat laki-laki dan mayorat perempuan.
Sistem mayorat laki-laki ialah harta warisan jatuh atau dikuasai oleh anak laki-laki tertua (tertua dalam jenisnya). Contohnya terdapat di Bali dan Lampung, serta ada beberapa bagian di Batak. Sistem mayorat perempuan yaitu harta warisan jatuh atau dikuasai oleh anak perempuan tertua. Contohnya terdapat pada masyarakat Tanah Sumendo di Sumatera Selatan, Dayak Tayan dan Dayak Landak serta Toraja Barat.


Perubahan Masyarakat Hukum Adat
Ada kecenderungan masyarakat matrilineal dan patrilineal itu berubah menuju masyarakat bilateral. Hal ini dapat terlihat dari tiga sudut/segi yaitu :   
Dari sudut hukum adat itu sendiri yaitu :masyarakat hukum adat yang goyah;  dalam perkawinan dan          pewarisan; masyarakat hukum adat yang darurat ; perkembangan hukum adat.
Dari sudut hukum Islam : Masyarakat Indonesia kurang lebih 90 %  beragama Islam. Islam meridoi masyarakat bilateral. Agama sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh sebab itu kemungkinan masyarakat Indonesia berubah kearah bilateral.
Faktor-faktor sosiologis yang murni : Persentuhan dua atau lebih kebudayaan akan menimbullkan kebudayaan baru. Faktor-faktor sosiologis yang murni yang dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia berubah kearah masyarakat bilateral antara lain adalah : revolusi;  peperangan; pendidikan; komunikasi;  teknologi canggih.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.